Paguyuban Tri Tunggal
Kamis, 29 Maret 2012
Paguyuban Tri Tunggal: OJO MABUK PRINSIP & PERSEPSI KARENA SULIT DI SADAR...
Paguyuban Tri Tunggal: OJO MABUK PRINSIP & PERSEPSI KARENA SULIT DI SADAR...: Materi Kaweruh Budi Kejawan Paguyuban Tri Tunggal, Minggu Kliwon 1 Jiwamu Ojo Mabuk Prinsip Lan Persepsi Amarga Angel Di Sadarake. ...
Rabu, 28 Maret 2012
Nompo’o Kasunyatan Urip’mu Aja gawe serik atining liyan & Aja tansah gawe gelaning liyan
Materi Kaweruh Budi Kejawan, Minggu Paing 1
Nompo’o Kasunyatan Urip’mu
Nompo’o Kasunyatan Urip’mu
Aja gawe serik
atining liyan & Aja tansah gawe
gelaning liyan
gelaning liyan
Hai Saudara
yang bersehati dan bersejiwa. Mari bersama berusaha mengerti dan memahami segala
peristiwa kehidupan pasti ada sebab dan akibatnya. Kehidupanmu saat ini hasil
dari sebuah akibat dan akan membuahkan akibat yang positif maupun negatif.
Segala keputusan sekecil apapun dan sebaik apapun akan memiliki dampak yang
baik dan buruk, tinggal dirimu menyadarinya atau tidak. Ketagasan dalam
penyelenggaraan hidup inilah agar dirimu tidak mempersalahkan orang lain
sebagai penyebab utama, tetapi kembalikanlah pada dirimu yang bersalah, itulah yang
senyatanya.
Problematika kehidupan senyatanya di karenakan
masalah pelik tentang penyelenggaraan kesadaran yang eksistensinya mengambang
di tengah kehidupanmu. Tentu, dampak negatif tidak menerima kenyataan adalah
tidak mengakui kesalahan atau keluputan dari ulahmu yang sudah berani
mengharapkan sesuatu. Namun pada kenyataan berbeda dengan pengharapanmu. Apa
yang terjadi ketika ketidakmampuan menerima kenyataan akan mengakibatkan
tindakan serta perbuatan yang kurang tulus dan iklas, rela dan pasrah atau
tidak sesuai dengan perjanjian awal (temen). Sebuah kenakalan atau keliaran
terjadi sebagai ungkapan rasa tidak terima dengan meluapkan tekanan energi jiwa
yang telah menekan lama, akhirnya tinggal terlihat peledakan emosionalnya
sebagai cermin tidak terkendali.
Tentang peristiwa peledakan emosional ketika dirimu
marah, naik pintam, mudah tersinggung harga dirimu, mudah terendahkan derajat,
harkat dan martabatmu, mudah berdarah dingin, dll. Setelah dirimu luapkan akan
terasa lega karena tidak tertekan oleh jiwa yang sedang liar ingin keluar.
Sudah sewajarnya jika batin tidak mampu menampung energi jiwa yang sedang liar
dan mengganas serta panas akan menyebabkan jiwa meluap. Kejadian tersebut
adalah luapan jiwa yang sedang emosi (tertekan) di saat bejana hati (batin)
tidak mampu menampungnya.
Ketika terluapkan energi jiwa yang tak terkendali
tersebut, pada umumnya kesadaran diri terhadap jati diri tidak berperan di
dalam eksistensi kehidupan. Namun setelah luapan liar terjadi pada umumnya
dirimu harus menanggung dampak apa yang telah dirimu perbuat. Lebih – lebih
jika ada sesamamu yang terlibat kau kecewakan atau kau rugikan. Cepat atau
lambat mereka akan menuntut hasil perbuatanmu itu dengan cara dan pendekatannya
masing – masing. Perbuatan emosimu yang telah memproduksi kekawatiran bagi
mereka yang kau kecewakan akan melunturkan dan menurunkan harga kehidupanmu di
dalam namamu (harga diri) yang sementara terus berharap kau bangun demi hidupmu
sendiri. Terasa (disadari) atau tidak bagi kesadaranmu dirimu akan menanggung
akibatnya, entah sekedar di alam pikiran, perasaan, budi mereka atau melibatkan
perilaku dan perbuatan mereka bergantung dari cara dan pendekatan mereka yang terukur
dari kedewasaannya mengendalikan emosionalnya.
Janganlah menciptakan benturan jiwa dengan
memanggil luapan jiwa sesamamu yang kau awali dengan luapanmu terlebih dahulu.
Demikian ini akan merugikan kehidupanmu sendiri, karena nasib hidupmu kau pertaruhkan
dengan benturan yang kau perbuat. Jujur kata, apakah dirimu menginginkan
benturan itu ? tentu tidak bukan. Bukankah dirimu mendamba ketentraman dan
kedamaian hidup ? Saya yakin dirimu selalu berharap mendamba kedamaian hidup
dan dirimu hanya tergelincir oleh caramu yang kau landasi dengan pengetahuan,
pengertian dan pengalaman sempitmu.
Tepatnya luapan emosimu karena dirimu tidak
menyelenggarakan kesadaran hidup hingga energi jiwamu mampu merusak dan
memancing kehidupan jiwa tentram sekitarmu yang kau panggil (kau bujuk, ajak
atau kau provokasi) untuk berbenturan satu sama lain, antara jiwa dengan jiwa
yang tak terkendali. Begitulah ketika luapan jiwa tak terkendali tercipta
mencari senya kehidupannya, gelombang ketidaksadaran akan semakin memicu energi,
seperti ombak yang mendebur yang arusnya
saling bertabrakan dan sulit di prediksi nantinya. Segala kejadian adalah sebab
yang di karenakan adanya akibat, begitu sebaliknya sebagai hukum kepastian
hidup Cakra Manggilingan.
Sepantasnya demi kedewasaanmu, haruslah
menyelenggarakan kesadaran hidup agar bejana hati batinmu mampu menjadi tempat
jiwamu yang mudah bersenyawa dengan segala peritiwa di dalam interaksinya. Hendaknya
hidupmu mampu mengendalikan jiwamu agar tidak liar tetapi terkendali dengan kesadaranmu.
Yah, hanya dengan menyelenggarakan kesadaranlah jiwamu mampu kau kendalikan
hingga terpola di dalam naluri kehidupanmu sebagai cara pilihan bertahan hidup.
Selain itu, kedewasaanmu berada di antara penyelenggaraan kesadaran dirimu.
Selama menyelenggarakan kesadaran maka kedewasaan hidup akan selalu menyertaimu
selalu di kehidupan sehari – hari. Kedewasaan sebagai ukuran bagaimana dirimu
mampu mengendalikan jiwamu yang mudah menggeliat dan menekan serta meluap
keluar seperti energi alam yang memiliki tekanan panas. Dengan memanipulasi
serta mendistribusikan energi jiwamu bagi kehidupan dewasamu maka seni memayu
hayuning bawana akan kau kuasai.
Dirimu sebagai manusia harus terus menjaga
eksistensi kehidupanmu sebagai manusia. Kesadaran sebagai manusialah yang harus
dirimu jaga eksistensinya. Sebagai manusia sepantasnya menjaga kelengkapannya,
yaitu cipta, rasa dan karsa. Apabila peranan tiga peranan tunggal kelengkapan
manusiamu terselenggara maka dirimu menjaga hidupmu sebagai manusia yang di
cipta oleh Tuhan dengan derajat serta kesempurnaan yang lebih daripada mahluk
lain. Bukankah manusia adalah mahluk tersempurna ciptaan Tuhan ? begitulah
kenyataannya jika menyelenggarakan kesadaran cipta, rasa dan karsa di dalam
kelengkapan kemanusiaan.
Dengan menyelenggarakan kelengkapan manusia-mu
tersebut dirimu sama halnya menyelenggarakan kesadaran diri sebagai manusia
yang sepantasnya mampu melakukan kegiatan memayu hayuning bawana. Memanipulasi serta mendistribusikan energi
jiwamu dan di sekitarmu sebagai seni kesadaran diri yang akan dirimu terima.
Dari sinilah dalam hidup harus mampu menguasai kesadaran diri walau sesulit
apapun. Tiada kata terlambat selama dirimu masih hidup. Selama api mampu untuk
memasak atau mendukung kehidupanmu dan tidak membakarmu, kenapa tidak dirimu
lakukan. Selama air tidak menghanyutkanmu, tetapi mampu kau kuasai untuk
mendukung kehidupanmu, kenapa tidak. Selama
angin tidak menerbangkanmu, tetapi bermanfat bagi kehidupanmu, kenapa tidak
dirimu lakukan. Selama teman, saudara, sahabat sekalipun lawan mampu membantumu
dan mendukung kehidupanmu serta tidak menghancurkan serta merunyamkan
kehidupanmu, kenapa tidak.
Nompo’o Kasunyatan Urip’mu, Aja gawe serik atining
liyan lan Aja tansah gawe gelaning liyan (menerimalah kenyataan hidupmu, jangan
mengecewakan dan menyinggung perasaan orang lain). Itulah pesan untuk menepis
segala wujud – bentuk mara bahaya (bebendu) yang berwujud sial dan apes atau
sengkala agar dirimu mampu menguasai hidup. Apabila dirimu mampu melakukan maka
dirimu mengerti tentang arti seni hidup Jayabaya (jaya berarti menang atau
mampu mengatasi, sedangkan baya berarti bebaya atau mara bahaya
atau bencana).
Selasa, 27 Maret 2012
SIAPA MILIK AKAN GENDONG LALI
SOPO MILIK BAKAL
GENDONG LALI
Siapapun yang berhasrat nafsu memiliki yang
berlebihan, pasti akan lupa diri
Inti dasar dalam kehidupan iman sehari
– hari dalam kebudayaan tinggi Jawa adalah
ajaran moralitas dalam filsafat kehidupannya untuk mengendalikan hawa
dan nafsunya untuk tidak milik yang akan mengakibatkan gendong lali. Filsafat
itu kerap kita sebut dengan “pendalaman kebatinan beserta penghatannya dan
pengamalannya sehari - hari.” Dalam pengalaman hidup sehari di sebut “kejawen.”
Istilah kejawen berarti tegas bahwa masyarakat Jawa harus menyelenggarakan
kesadaran diri. Jika di praktekan dalam kesehariannya dalam pola hidup disebut
sebagai iman konkret sehari – hari orang Jawa di dalam kebudayaannya. Begitulah
fungsi filsafat kebatinan Jawa itu menjadi jembatan budi luhur dan penghubung
generasi ke generasinya yang sulit di hapus oleh segala dampak perubahan sosial
(dunia) sekalipun.
Sekalipun perubahan sosial dunia maupun nasional atau lokalpun telah
terjadi tidak akan pernah menghapuskannya karena kekuatan pilar filsafat budi
luhurnya itu. Tentang bagaimana mengendalikan liarnya gelombang hawa dan nafsu
yang sulit di baca dan di telaah dalam “MILIK GENDONG LALI.” Masyarakat Jawa
menyadari bahwa musuh utama kehidupan adalah rasa memiliki yang sangat melekat
erat dengan kepentingan duniawi. Jika kemelekatan telah terjadi maka resiko –
resiko konkret sehari – hari akan menimpanya dalam pertanggung jawaban
hidupnya. Selain itu, hakikat dalam tujuannya akan di korbankan tanpa sadar
jika ketidaksadaran diri karena rasa miliknya tersebut terjadi dalam dirinya.
Apa yang terjadi jika seseorang Jawa telah melekat erat dengan kepentingan
duniawi, tentunya akan lupa diri. Dari kekuasaan atau kedudukan sampai rasa
milik atas penguasaan harta kekayaan. Perolehan sebuah kemuliaan dan keagungan
bahkan sampai rasa milik atas kasih sayang yang berlebihanpun akan mengancam
kehidupannya. Oleh itu, milik gendong lali di tandaskan secara tegas bagi
masyarakat Jawa hingga sampai dalam adab dan adatnya sehari – hari.
Ada proporsinya tersendiri dalam menyelenggarakan rasa milik agar tidak
buta hatinya. Jika buta hati maka akan mengakibatkan tak terkendalinya hawa dan
nafsu dan perilaku dan perbuatannya akan liar dan merusak dirinya dan
sekitarnya. Dengan adanya filsafat menyelenggarakan ketulus iklasan, kerela
pasrahan, menerima kenyataan tanpa memaksakan kehendak, temen atau bertepat
janji dan berbudi luhur sebagai proporsional hidupnya sehari – hari secara
konkret sebagi tugas pokok intinya. Seseorang
tidak akan kalang kabut menentukan keputusan hidupnya dan akan berpikir jernih
dengan menyelenggarakan kesadaran dirinya. Hawa dan nafsu haruislah di
kendalikan hingga terbina sampai tidak liar sebagai pedoman filsafat inti
keimanannya dalam menyelenggarakan kesadaran diri.
Dasar kekayaan dalam rasa milik itu di dasari oleh kenyataan bahwa kekayaan
akal budi seperti bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria
yang mendalam dalam akal pikirannya serta perbuatannya. Dari pengalaman tradisi
sehari – hari dalam adat istiadatnya di jelakan tidak diperkenankan untuk
berkianat, selalu jujur dan adil serta bijaksana dalam melaksanakan tugas
hidupnya dalam kehidupan sosialnya. Profesi hidup masing – masing yang tertata
dalam kehidupan sosial itu akan seimbang jika menyelenggarakan bakti, dharma,
sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria. Sebagai contoh dalam profesi
apapun, tujuan kemewahan dan kelimpahan itu untuk apa jika sekitarnya masih ada
yang sengsara dan menderita. Apa tujuan berkedudukan dan berkuasa jika tidak
mampu mewakili kepentingan dan memperjuangkan bagi masyarakat yang menderita dan sengsara. Apa artinya
tujuan mencinta dan menyayanggi sebuah nilai ajaran luhur atau seseorang atau
kelompok identitas jika tidak mewujudkan kasih sayangnya. Apa artinya memiliki
kemuliaan dan keagungan yang berlimpahkan budi jika tidak mampu
menyelenggarakan kebijaksanaan secara adil dan bijak serta hanya mementingkan
kelompoknya sendiri. Apa artinya tujuan mencintai anak atau murid jika rasa
memilikinya telah membelenggu perkembangannya hingga tidak berkembang tumbuh
atau tak mampu hidup di lingkungan luar. Semua itu hanyalah kosong tanpa arti
jika telah lupa diri dengan tujuannnya sendiri. Itulah yang di maksud dengan Sopo
Milik Gendong Lali yang membawa bencana kemelekatan duniawi.
Di jaman sekarang ini, entitas iman sehari – hari haruslah di pertanyakan
oleh masing – masing seseorang. Bagaimana tentang anugerah kelengkapannya
sebagai manusia yang di anugerahi dengan cipta, rasa dan karsa sebagai
instrumen kemanusiaannya. Andaikata satu saja tak terlaksana maka tidaklah
genap diri seseorang itu sebagai manusia. Apa bedanya manusia dengan binatang
yang tidak lengkap perangkat cipta, rasa dan karsanya itu. Tentu tidaklah sama
antara manusia dan binatang. Binatang menyelenggarakan kehidupannya memiliki
tujuan hidup sendiri, begituhalnya manusia. Segala kehidupan saling melengkapi
dalam Memayu Hayuning Bawana. Segala sesuatunya itu di pertunjukan dalam
kehidupan dunia dengan iman konkretnya masing – masing yang tak lepas dengan bakti,
dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria.
Kehidupan budaya Jawa merasukan iman yang konkret dalam kehidupan sehari –
hari. Adanya sopan santun, gotong royong, saling mengormati, musyawarah,
mufakat sebagai komitmen harga dirinya dalam prinsin temen. Kebudayaan tinggi
yang menjelma dalam iman konkret sehari – hari itu menegaskan mereka untuk
tidak “milik,” bahwa “Milik akan akibatkan Gendong Lali.” Begitulah dalam kehidupan tarekat Jawa bahwa nilai
filsafatnya perlu di urai di karenakan tentang pengendalian diri atas hawa dan
nafsu liarnya yang di urai dalam kaweruh budinya masing - masing.
OJO MABUK PRINSIP & PERSEPSI KARENA SULIT DI SADARKAN
Jiwamu Ojo Mabuk Prinsip Lan Persepsi
Amarga Angel Di
Sadarake.
Jangan Mabuk
Prinsip Lan Persepsi Karena Sulit Disadarkan
Bagi orang Jawa dimanapun berada harus menyelenggarakan kesadaran dalam
dirinya sebagai iman konkret sehari - hari. Ketidaksadaran diri sebagai
pantangan hidupnya sehari – hari. Ketidaksadaran itu disebut dengan mabuk.
Istilah mabuk sebagai fenomena lupa diri. Lupa diri atau mabuk disebabkan
terjadinya gelombang energi hawa dan nafsu tanpa arah dan liar tak terkendali.
Ada dua pengertian lupa diri dalam mabuk, berlebihnya energi hawa dan nafsu
hingga menjadi emosi yang menguatkan vitalitas tubuh jasmani atau justru
melemahkan tubuh jasmani. Keduanya memiliki persamaan yaitu lupa diri karena mabuk.
Bagaimanakah dengan seseorang yang mabuk akan kedudukan atau jabatan hingga
kekuasaan. Demikian juga dengan seseorang di landa mabuk minuman keras. Lalu
bagaimana dengan seseorang yang di landa mabuk karena perjalanan sampai mabuk
karena makan atau minum yang berlebihan atau segala tindakan yang berlebihan.
Bagaimana dengan para pemimpin rohani dalam sebuah kelembagaan yang haus akan
pujian, kemuliaan serta kehormatan untuk di sanjung sebagai orang suci. Apakah
sama bobotnya dengan jabatan yang tinggi, pendidikan yang tinggi, kecantikan
dan kekayaan harta benda berlimpah yang menggiurkan akan mudah membuat terpana
dan tak sadarkan diri. Adalah sama jika
fenomena itu sebagai mabuk atau lupa diri. Fenomena itu selalu menganggap
dirinya paling benar sendiri. Kesepakatan terjadi dengan orang lain jika di
landasi oleh kesamaan prinsip serta
persepsi. Sama bobotnya dengan peristiwa molimo bagi orang Jawa dalam
pengertian negatif yaitu maling, madon, madat, mateni dan mabuk.
Ada dua kemabukan yang pantang bagi orang Jawa. Mabuk jiwanya secara utuh
sulit untuk di kendalikan sedangkan mabuk tubuh organnya karena makanan atau
minuman serta perjalanan hingga mengganggu keseimbangan jiwa mudahlah untuk
sembuh dan terobati. Jika mabuk di karenakan minuman atau makanan yang masuk di
perut jika telah tak berpengaruh lagi akan sadar dengan sendirinya. Lalu jika
mabuk jiwa akibat pemahaman prinsip dan persepsi hingga mempengaruhi spirit dan
mental sampai hawa dan nafsunya akan sulit terobati. Jiwa pikiran, perasaan dan
budinya telah mabuk atau lupa diri itu akan bisa di obati hanya dengan cara
mawas diri secara rutin dan melakukan aktivitas olah kebatinan yang disertai
perilaku yang mendorong membangun kesadaran diri. Dampak – dampak
ketidaksadaran diri inilah yang di waspadai bagi orang Jawa dalam kehidupan
sehari – hari secara konkret dalam adat istiadatnya sebagai pertahanan
sosialnya melindungi warganya.
Apabila ketidaksadaran diri terjadi dalam perilaku, perbuatan ataupun
ucapan sedang terjadi. Apa bedanya dengan mabuk, madat atau mendem atau segala
perbuatan tanpa di landasi kesadaran diri. Sama dengan gila atau edan.
Masyarakat Jawa di dalam budayanya sehari – hari tidak memperkenankan warga
masyarakatnya di rundung dan di belenggu oleh ketidaksadaran akibat mabuk nilai
– nilai yang merugikan kehidupannya pribadi. Entah yang di akibatkan mabuk
mimpi, mabuk ajaran – ajaran nilai, mabuk minuman keras, mabuk cinta, mabuk
kekuasaan dan kedudukan sosial maupun mabuk yang dikarenakan pola kebiasaan
buruk (merugikan dirinya atau masyarakat) yang telah membelenggunya.
Langganan:
Postingan (Atom)