Rabu, 28 Maret 2012

Nompo’o Kasunyatan Urip’mu Aja gawe serik atining liyan & Aja tansah gawe gelaning liyan


Materi Kaweruh Budi Kejawan, Minggu Paing 1


Nompo’o Kasunyatan Urip’mu
Aja gawe serik atining liyan & Aja tansah gawe 
gelaning liyan

Hai Saudara yang bersehati dan bersejiwa. Mari bersama berusaha mengerti dan memahami segala peristiwa kehidupan pasti ada sebab dan akibatnya. Kehidupanmu saat ini hasil dari sebuah akibat dan akan membuahkan akibat yang positif maupun negatif. Segala keputusan sekecil apapun dan sebaik apapun akan memiliki dampak yang baik dan buruk, tinggal dirimu menyadarinya atau tidak. Ketagasan dalam penyelenggaraan hidup inilah agar dirimu tidak mempersalahkan orang lain sebagai penyebab utama, tetapi kembalikanlah pada dirimu yang bersalah, itulah yang senyatanya.
Di perlukan sebuah kegiatan kesadaran dalam penyelenggaraan hidup sehari – hari di segenap lingkungan interaksi dan toleransimu dengan sesama. Budaya mawas diri dengan selalu merefleksi segenap perbuatan dan perilakumu sehari – hari adalah upaya menyelenggarakan eling dan waspada yang selalu menjaga kehidupanmu, agar selalu terasa hidup.
Problematika kehidupan senyatanya di karenakan masalah pelik tentang penyelenggaraan kesadaran yang eksistensinya mengambang di tengah kehidupanmu. Tentu, dampak negatif tidak menerima kenyataan adalah tidak mengakui kesalahan atau keluputan dari ulahmu yang sudah berani mengharapkan sesuatu. Namun pada kenyataan berbeda dengan pengharapanmu. Apa yang terjadi ketika ketidakmampuan menerima kenyataan akan mengakibatkan tindakan serta perbuatan yang kurang tulus dan iklas, rela dan pasrah atau tidak sesuai dengan perjanjian awal (temen). Sebuah kenakalan atau keliaran terjadi sebagai ungkapan rasa tidak terima dengan meluapkan tekanan energi jiwa yang telah menekan lama, akhirnya tinggal terlihat peledakan emosionalnya sebagai cermin tidak terkendali.
Tentang peristiwa peledakan emosional ketika dirimu marah, naik pintam, mudah tersinggung harga dirimu, mudah terendahkan derajat, harkat dan martabatmu, mudah berdarah dingin, dll. Setelah dirimu luapkan akan terasa lega karena tidak tertekan oleh jiwa yang sedang liar ingin keluar. Sudah sewajarnya jika batin tidak mampu menampung energi jiwa yang sedang liar dan mengganas serta panas akan menyebabkan jiwa meluap. Kejadian tersebut adalah luapan jiwa yang sedang emosi (tertekan) di saat bejana hati (batin) tidak mampu menampungnya.
Ketika terluapkan energi jiwa yang tak terkendali tersebut, pada umumnya kesadaran diri terhadap jati diri tidak berperan di dalam eksistensi kehidupan. Namun setelah luapan liar terjadi pada umumnya dirimu harus menanggung dampak apa yang telah dirimu perbuat. Lebih – lebih jika ada sesamamu yang terlibat kau kecewakan atau kau rugikan. Cepat atau lambat mereka akan menuntut hasil perbuatanmu itu dengan cara dan pendekatannya masing – masing. Perbuatan emosimu yang telah memproduksi kekawatiran bagi mereka yang kau kecewakan akan melunturkan dan menurunkan harga kehidupanmu di dalam namamu (harga diri) yang sementara terus berharap kau bangun demi hidupmu sendiri. Terasa (disadari) atau tidak bagi kesadaranmu dirimu akan menanggung akibatnya, entah sekedar di alam pikiran, perasaan, budi mereka atau melibatkan perilaku dan perbuatan mereka bergantung dari cara dan pendekatan mereka yang terukur dari kedewasaannya mengendalikan emosionalnya.
Janganlah menciptakan benturan jiwa dengan memanggil luapan jiwa sesamamu yang kau awali dengan luapanmu terlebih dahulu. Demikian ini akan merugikan kehidupanmu sendiri, karena nasib hidupmu kau pertaruhkan dengan benturan yang kau perbuat. Jujur kata, apakah dirimu menginginkan benturan itu ? tentu tidak bukan. Bukankah dirimu mendamba ketentraman dan kedamaian hidup ? Saya yakin dirimu selalu berharap mendamba kedamaian hidup dan dirimu hanya tergelincir oleh caramu yang kau landasi dengan pengetahuan, pengertian dan pengalaman sempitmu.   
Tepatnya luapan emosimu karena dirimu tidak menyelenggarakan kesadaran hidup hingga energi jiwamu mampu merusak dan memancing kehidupan jiwa tentram sekitarmu yang kau panggil (kau bujuk, ajak atau kau provokasi) untuk berbenturan satu sama lain, antara jiwa dengan jiwa yang tak terkendali. Begitulah ketika luapan jiwa tak terkendali tercipta mencari senya kehidupannya, gelombang ketidaksadaran akan semakin memicu energi, seperti  ombak yang mendebur yang arusnya saling bertabrakan dan sulit di prediksi nantinya. Segala kejadian adalah sebab yang di karenakan adanya akibat, begitu sebaliknya sebagai hukum kepastian hidup Cakra Manggilingan.
Sepantasnya demi kedewasaanmu, haruslah menyelenggarakan kesadaran hidup agar bejana hati batinmu mampu menjadi tempat jiwamu yang mudah bersenyawa dengan segala peritiwa di dalam interaksinya. Hendaknya hidupmu mampu mengendalikan jiwamu agar tidak liar tetapi terkendali dengan kesadaranmu. Yah, hanya dengan menyelenggarakan kesadaranlah jiwamu mampu kau kendalikan hingga terpola di dalam naluri kehidupanmu sebagai cara pilihan bertahan hidup. Selain itu, kedewasaanmu berada di antara penyelenggaraan kesadaran dirimu. Selama menyelenggarakan kesadaran maka kedewasaan hidup akan selalu menyertaimu selalu di kehidupan sehari – hari. Kedewasaan sebagai ukuran bagaimana dirimu mampu mengendalikan jiwamu yang mudah menggeliat dan menekan serta meluap keluar seperti energi alam yang memiliki tekanan panas. Dengan memanipulasi serta mendistribusikan energi jiwamu bagi kehidupan dewasamu maka seni memayu hayuning bawana akan kau kuasai.
Dirimu sebagai manusia harus terus menjaga eksistensi kehidupanmu sebagai manusia. Kesadaran sebagai manusialah yang harus dirimu jaga eksistensinya. Sebagai manusia sepantasnya menjaga kelengkapannya, yaitu cipta, rasa dan karsa. Apabila peranan tiga peranan tunggal kelengkapan manusiamu terselenggara maka dirimu menjaga hidupmu sebagai manusia yang di cipta oleh Tuhan dengan derajat serta kesempurnaan yang lebih daripada mahluk lain. Bukankah manusia adalah mahluk tersempurna ciptaan Tuhan ? begitulah kenyataannya jika menyelenggarakan kesadaran cipta, rasa dan karsa di dalam kelengkapan kemanusiaan.
Dengan menyelenggarakan kelengkapan manusia-mu tersebut dirimu sama halnya menyelenggarakan kesadaran diri sebagai manusia yang sepantasnya mampu melakukan kegiatan memayu hayuning bawana.  Memanipulasi serta mendistribusikan energi jiwamu dan di sekitarmu sebagai seni kesadaran diri yang akan dirimu terima. Dari sinilah dalam hidup harus mampu menguasai kesadaran diri walau sesulit apapun. Tiada kata terlambat selama dirimu masih hidup. Selama api mampu untuk memasak atau mendukung kehidupanmu dan tidak membakarmu, kenapa tidak dirimu lakukan. Selama air tidak menghanyutkanmu, tetapi mampu kau kuasai untuk mendukung kehidupanmu, kenapa tidak.  Selama angin tidak menerbangkanmu, tetapi bermanfat bagi kehidupanmu, kenapa tidak dirimu lakukan. Selama teman, saudara, sahabat sekalipun lawan mampu membantumu dan mendukung kehidupanmu serta tidak menghancurkan serta merunyamkan kehidupanmu, kenapa tidak.  
Nompo’o Kasunyatan Urip’mu, Aja gawe serik atining liyan lan Aja tansah gawe gelaning liyan (menerimalah kenyataan hidupmu, jangan mengecewakan dan menyinggung perasaan orang lain). Itulah pesan untuk menepis segala wujud – bentuk mara bahaya (bebendu) yang berwujud sial dan apes atau sengkala agar dirimu mampu menguasai hidup. Apabila dirimu mampu melakukan maka dirimu mengerti tentang arti seni hidup Jayabaya (jaya berarti menang atau mampu mengatasi, sedangkan baya berarti bebaya atau mara bahaya atau bencana).  

Selasa, 27 Maret 2012

SIAPA MILIK AKAN GENDONG LALI

 Materi kaweruh budi kejawan Paguyuban Tri Tunggal tiap “Minggu Pon 1”
SOPO MILIK BAKAL GENDONG LALI
Siapapun yang berhasrat nafsu memiliki yang berlebihan, pasti akan lupa diri

Bagi orang Jawa, siapapun orangnya jika memiliki hasrat memiliki yang berlebihan dipastikan akan lupa diri. Persoalan rasa memiliki atas apa yang diinginkan dalam sebuah kepentingan yang di perjuangkan terkadang membuat lupa diri. Ketidaksadaran diri inilah yang menjadi persoalan ketika seseorang tidak menyelenggarakan kesadarannya. Sebagai manusia yang di anugerahi cipta, rasa dan karsa tentunya bertanggung jawab menyelenggarakan kesadaran diri. Itulah tantangan seseorang ketika sedang mempertahankan eksistensi kehidupannya. Lupa diri disebabkan oleh liarnya gelombang hawa dan nafsu bergejolak hingga pribadi seseorang itu menjadi tidak sadarkan diri atas segala perilaku dan ucapannya.
Inti dasar dalam kehidupan iman sehari – hari dalam kebudayaan tinggi Jawa adalah  ajaran moralitas dalam filsafat kehidupannya untuk mengendalikan hawa dan nafsunya untuk tidak milik yang akan mengakibatkan gendong lali. Filsafat itu kerap kita sebut dengan “pendalaman kebatinan beserta penghatannya dan pengamalannya sehari - hari.” Dalam pengalaman hidup sehari di sebut “kejawen.” Istilah kejawen berarti tegas bahwa masyarakat Jawa harus menyelenggarakan kesadaran diri. Jika di praktekan dalam kesehariannya dalam pola hidup disebut sebagai iman konkret sehari – hari orang Jawa di dalam kebudayaannya. Begitulah fungsi filsafat kebatinan Jawa itu menjadi jembatan budi luhur dan penghubung generasi ke generasinya yang sulit di hapus oleh segala dampak perubahan sosial (dunia) sekalipun.
Sekalipun perubahan sosial dunia maupun nasional atau lokalpun telah terjadi tidak akan pernah menghapuskannya karena kekuatan pilar filsafat budi luhurnya itu. Tentang bagaimana mengendalikan liarnya gelombang hawa dan nafsu yang sulit di baca dan di telaah dalam “MILIK GENDONG LALI.” Masyarakat Jawa menyadari bahwa musuh utama kehidupan adalah rasa memiliki yang sangat melekat erat dengan kepentingan duniawi. Jika kemelekatan telah terjadi maka resiko – resiko konkret sehari – hari akan menimpanya dalam pertanggung jawaban hidupnya. Selain itu, hakikat dalam tujuannya akan di korbankan tanpa sadar jika ketidaksadaran diri karena rasa miliknya tersebut terjadi dalam dirinya. Apa yang terjadi jika seseorang Jawa telah melekat erat dengan kepentingan duniawi, tentunya akan lupa diri. Dari kekuasaan atau kedudukan sampai rasa milik atas penguasaan harta kekayaan. Perolehan sebuah kemuliaan dan keagungan bahkan sampai rasa milik atas kasih sayang yang berlebihanpun akan mengancam kehidupannya. Oleh itu, milik gendong lali di tandaskan secara tegas bagi masyarakat Jawa hingga sampai dalam adab dan adatnya sehari – hari.
Ada proporsinya tersendiri dalam menyelenggarakan rasa milik agar tidak buta hatinya. Jika buta hati maka akan mengakibatkan tak terkendalinya hawa dan nafsu dan perilaku dan perbuatannya akan liar dan merusak dirinya dan sekitarnya. Dengan adanya filsafat menyelenggarakan ketulus iklasan, kerela pasrahan, menerima kenyataan tanpa memaksakan kehendak, temen atau bertepat janji dan berbudi luhur sebagai proporsional hidupnya sehari – hari secara konkret sebagi tugas pokok intinya.  Seseorang tidak akan kalang kabut menentukan keputusan hidupnya dan akan berpikir jernih dengan menyelenggarakan kesadaran dirinya. Hawa dan nafsu haruislah di kendalikan hingga terbina sampai tidak liar sebagai pedoman filsafat inti keimanannya dalam menyelenggarakan kesadaran diri.
Dasar kekayaan dalam rasa milik itu di dasari oleh kenyataan bahwa kekayaan akal budi seperti bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria yang mendalam dalam akal pikirannya serta perbuatannya. Dari pengalaman tradisi sehari – hari dalam adat istiadatnya di jelakan tidak diperkenankan untuk berkianat, selalu jujur dan adil serta bijaksana dalam melaksanakan tugas hidupnya dalam kehidupan sosialnya. Profesi hidup masing – masing yang tertata dalam kehidupan sosial itu akan seimbang jika menyelenggarakan bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria. Sebagai contoh dalam profesi apapun, tujuan kemewahan dan kelimpahan itu untuk apa jika sekitarnya masih ada yang sengsara dan menderita. Apa tujuan berkedudukan dan berkuasa jika tidak mampu mewakili kepentingan dan memperjuangkan bagi masyarakat  yang menderita dan sengsara. Apa artinya tujuan mencinta dan menyayanggi sebuah nilai ajaran luhur atau seseorang atau kelompok identitas jika tidak mewujudkan kasih sayangnya. Apa artinya memiliki kemuliaan dan keagungan yang berlimpahkan budi jika tidak mampu menyelenggarakan kebijaksanaan secara adil dan bijak serta hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Apa artinya tujuan mencintai anak atau murid jika rasa memilikinya telah membelenggu perkembangannya hingga tidak berkembang tumbuh atau tak mampu hidup di lingkungan luar. Semua itu hanyalah kosong tanpa arti jika telah lupa diri dengan tujuannnya sendiri. Itulah yang di maksud dengan Sopo Milik Gendong Lali yang membawa bencana kemelekatan duniawi.
Di jaman sekarang ini, entitas iman sehari – hari haruslah di pertanyakan oleh masing – masing seseorang. Bagaimana tentang anugerah kelengkapannya sebagai manusia yang di anugerahi dengan cipta, rasa dan karsa sebagai instrumen kemanusiaannya. Andaikata satu saja tak terlaksana maka tidaklah genap diri seseorang itu sebagai manusia. Apa bedanya manusia dengan binatang yang tidak lengkap perangkat cipta, rasa dan karsanya itu. Tentu tidaklah sama antara manusia dan binatang. Binatang menyelenggarakan kehidupannya memiliki tujuan hidup sendiri, begituhalnya manusia. Segala kehidupan saling melengkapi dalam Memayu Hayuning Bawana. Segala sesuatunya itu di pertunjukan dalam kehidupan dunia dengan iman konkretnya masing – masing yang tak lepas dengan bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria.
Kehidupan budaya Jawa merasukan iman yang konkret dalam kehidupan sehari – hari. Adanya sopan santun, gotong royong, saling mengormati, musyawarah, mufakat sebagai komitmen harga dirinya dalam prinsin temen. Kebudayaan tinggi yang menjelma dalam iman konkret sehari – hari itu menegaskan mereka untuk tidak “milik,” bahwaMilik akan akibatkan Gendong Lali.” Begitulah dalam kehidupan tarekat Jawa bahwa nilai filsafatnya perlu di urai di karenakan tentang pengendalian diri atas hawa dan nafsu liarnya yang di urai dalam kaweruh budinya masing - masing.    

OJO MABUK PRINSIP & PERSEPSI KARENA SULIT DI SADARKAN


 Materi Kaweruh Budi Kejawan Paguyuban Tri Tunggal, Minggu Kliwon 1
Jiwamu  Ojo Mabuk Prinsip Lan Persepsi
Amarga Angel Di Sadarake.
 Jangan Mabuk Prinsip Lan Persepsi Karena Sulit Disadarkan

Bagi orang Jawa dimanapun berada harus menyelenggarakan kesadaran dalam dirinya sebagai iman konkret sehari - hari. Ketidaksadaran diri sebagai pantangan hidupnya sehari – hari. Ketidaksadaran itu disebut dengan mabuk. Istilah mabuk sebagai fenomena lupa diri. Lupa diri atau mabuk disebabkan terjadinya gelombang energi hawa dan nafsu tanpa arah dan liar tak terkendali. Ada dua pengertian lupa diri dalam mabuk, berlebihnya energi hawa dan nafsu hingga menjadi emosi yang menguatkan vitalitas tubuh jasmani atau justru melemahkan tubuh jasmani. Keduanya memiliki persamaan yaitu lupa diri karena mabuk.  
Fenomena mabuk atau lupa diri ketika seseorang di landa mabuk cinta maka vitalitas tubuhnya akan meningkat, keberanian dan kreativitasnya akan berlebihan. Begituhalnya dengan seseorang yang di landa amarah kebencian yang berujung dendam kesumat memiliki kekuatan dan keberanian yang berlipat. Halnya sama dengan seseorang yang sedang mengalami kekawatiran dan ketakutan ketika terancam jiwanya, tanpa sadar dapat berlari kencang, menahan rasa sakit dan juga mampu melompat tinggi yang tak mungkin di lakukan ketika sadar diri. Ada juga yang lupa diri karena mabuk ajaran dari nilai – nilai mulia yang dianggapnya benar. Padahal sejatinya terhasut kesadaran jiwanya dan terbelenggu hingga merasuk dalam prinsip dan persepsinya sampai lupa diri. Akhirnya memudahkannya untuk meluapkan kebencian ketika terjadi perbedaan pendapat dengan ajaran lainnya. Ketersinggungan itu kita sebut dengan lupa diri atau mabuk karena cintanya dengan ajaran tersebut.
Bagaimanakah dengan seseorang yang mabuk akan kedudukan atau jabatan hingga kekuasaan. Demikian juga dengan seseorang di landa mabuk minuman keras. Lalu bagaimana dengan seseorang yang di landa mabuk karena perjalanan sampai mabuk karena makan atau minum yang berlebihan atau segala tindakan yang berlebihan. Bagaimana dengan para pemimpin rohani dalam sebuah kelembagaan yang haus akan pujian, kemuliaan serta kehormatan untuk di sanjung sebagai orang suci. Apakah sama bobotnya dengan jabatan yang tinggi, pendidikan yang tinggi, kecantikan dan kekayaan harta benda berlimpah yang menggiurkan akan mudah membuat terpana dan tak sadarkan diri.  Adalah sama jika fenomena itu sebagai mabuk atau lupa diri. Fenomena itu selalu menganggap dirinya paling benar sendiri. Kesepakatan terjadi dengan orang lain jika di landasi oleh kesamaan  prinsip serta persepsi. Sama bobotnya dengan peristiwa molimo bagi orang Jawa dalam pengertian negatif yaitu maling, madon, madat, mateni dan mabuk.
Ada dua kemabukan yang pantang bagi orang Jawa. Mabuk jiwanya secara utuh sulit untuk di kendalikan sedangkan mabuk tubuh organnya karena makanan atau minuman serta perjalanan hingga mengganggu keseimbangan jiwa mudahlah untuk sembuh dan terobati. Jika mabuk di karenakan minuman atau makanan yang masuk di perut jika telah tak berpengaruh lagi akan sadar dengan sendirinya. Lalu jika mabuk jiwa akibat pemahaman prinsip dan persepsi hingga mempengaruhi spirit dan mental sampai hawa dan nafsunya akan sulit terobati. Jiwa pikiran, perasaan dan budinya telah mabuk atau lupa diri itu akan bisa di obati hanya dengan cara mawas diri secara rutin dan melakukan aktivitas olah kebatinan yang disertai perilaku yang mendorong membangun kesadaran diri. Dampak – dampak ketidaksadaran diri inilah yang di waspadai bagi orang Jawa dalam kehidupan sehari – hari secara konkret dalam adat istiadatnya sebagai pertahanan sosialnya melindungi warganya.
Apabila ketidaksadaran diri terjadi dalam perilaku, perbuatan ataupun ucapan sedang terjadi. Apa bedanya dengan mabuk, madat atau mendem atau segala perbuatan tanpa di landasi kesadaran diri. Sama dengan gila atau edan. Masyarakat Jawa di dalam budayanya sehari – hari tidak memperkenankan warga masyarakatnya di rundung dan di belenggu oleh ketidaksadaran akibat mabuk nilai – nilai yang merugikan kehidupannya pribadi. Entah yang di akibatkan mabuk mimpi, mabuk ajaran – ajaran nilai, mabuk minuman keras, mabuk cinta, mabuk kekuasaan dan kedudukan sosial maupun mabuk yang dikarenakan pola kebiasaan buruk (merugikan dirinya atau masyarakat) yang telah membelenggunya.