SOPO MILIK BAKAL
GENDONG LALI
Siapapun yang berhasrat nafsu memiliki yang
berlebihan, pasti akan lupa diri
Inti dasar dalam kehidupan iman sehari
– hari dalam kebudayaan tinggi Jawa adalah
ajaran moralitas dalam filsafat kehidupannya untuk mengendalikan hawa
dan nafsunya untuk tidak milik yang akan mengakibatkan gendong lali. Filsafat
itu kerap kita sebut dengan “pendalaman kebatinan beserta penghatannya dan
pengamalannya sehari - hari.” Dalam pengalaman hidup sehari di sebut “kejawen.”
Istilah kejawen berarti tegas bahwa masyarakat Jawa harus menyelenggarakan
kesadaran diri. Jika di praktekan dalam kesehariannya dalam pola hidup disebut
sebagai iman konkret sehari – hari orang Jawa di dalam kebudayaannya. Begitulah
fungsi filsafat kebatinan Jawa itu menjadi jembatan budi luhur dan penghubung
generasi ke generasinya yang sulit di hapus oleh segala dampak perubahan sosial
(dunia) sekalipun.
Sekalipun perubahan sosial dunia maupun nasional atau lokalpun telah
terjadi tidak akan pernah menghapuskannya karena kekuatan pilar filsafat budi
luhurnya itu. Tentang bagaimana mengendalikan liarnya gelombang hawa dan nafsu
yang sulit di baca dan di telaah dalam “MILIK GENDONG LALI.” Masyarakat Jawa
menyadari bahwa musuh utama kehidupan adalah rasa memiliki yang sangat melekat
erat dengan kepentingan duniawi. Jika kemelekatan telah terjadi maka resiko –
resiko konkret sehari – hari akan menimpanya dalam pertanggung jawaban
hidupnya. Selain itu, hakikat dalam tujuannya akan di korbankan tanpa sadar
jika ketidaksadaran diri karena rasa miliknya tersebut terjadi dalam dirinya.
Apa yang terjadi jika seseorang Jawa telah melekat erat dengan kepentingan
duniawi, tentunya akan lupa diri. Dari kekuasaan atau kedudukan sampai rasa
milik atas penguasaan harta kekayaan. Perolehan sebuah kemuliaan dan keagungan
bahkan sampai rasa milik atas kasih sayang yang berlebihanpun akan mengancam
kehidupannya. Oleh itu, milik gendong lali di tandaskan secara tegas bagi
masyarakat Jawa hingga sampai dalam adab dan adatnya sehari – hari.
Ada proporsinya tersendiri dalam menyelenggarakan rasa milik agar tidak
buta hatinya. Jika buta hati maka akan mengakibatkan tak terkendalinya hawa dan
nafsu dan perilaku dan perbuatannya akan liar dan merusak dirinya dan
sekitarnya. Dengan adanya filsafat menyelenggarakan ketulus iklasan, kerela
pasrahan, menerima kenyataan tanpa memaksakan kehendak, temen atau bertepat
janji dan berbudi luhur sebagai proporsional hidupnya sehari – hari secara
konkret sebagi tugas pokok intinya. Seseorang
tidak akan kalang kabut menentukan keputusan hidupnya dan akan berpikir jernih
dengan menyelenggarakan kesadaran dirinya. Hawa dan nafsu haruislah di
kendalikan hingga terbina sampai tidak liar sebagai pedoman filsafat inti
keimanannya dalam menyelenggarakan kesadaran diri.
Dasar kekayaan dalam rasa milik itu di dasari oleh kenyataan bahwa kekayaan
akal budi seperti bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria
yang mendalam dalam akal pikirannya serta perbuatannya. Dari pengalaman tradisi
sehari – hari dalam adat istiadatnya di jelakan tidak diperkenankan untuk
berkianat, selalu jujur dan adil serta bijaksana dalam melaksanakan tugas
hidupnya dalam kehidupan sosialnya. Profesi hidup masing – masing yang tertata
dalam kehidupan sosial itu akan seimbang jika menyelenggarakan bakti, dharma,
sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria. Sebagai contoh dalam profesi
apapun, tujuan kemewahan dan kelimpahan itu untuk apa jika sekitarnya masih ada
yang sengsara dan menderita. Apa tujuan berkedudukan dan berkuasa jika tidak
mampu mewakili kepentingan dan memperjuangkan bagi masyarakat yang menderita dan sengsara. Apa artinya
tujuan mencinta dan menyayanggi sebuah nilai ajaran luhur atau seseorang atau
kelompok identitas jika tidak mewujudkan kasih sayangnya. Apa artinya memiliki
kemuliaan dan keagungan yang berlimpahkan budi jika tidak mampu
menyelenggarakan kebijaksanaan secara adil dan bijak serta hanya mementingkan
kelompoknya sendiri. Apa artinya tujuan mencintai anak atau murid jika rasa
memilikinya telah membelenggu perkembangannya hingga tidak berkembang tumbuh
atau tak mampu hidup di lingkungan luar. Semua itu hanyalah kosong tanpa arti
jika telah lupa diri dengan tujuannnya sendiri. Itulah yang di maksud dengan Sopo
Milik Gendong Lali yang membawa bencana kemelekatan duniawi.
Di jaman sekarang ini, entitas iman sehari – hari haruslah di pertanyakan
oleh masing – masing seseorang. Bagaimana tentang anugerah kelengkapannya
sebagai manusia yang di anugerahi dengan cipta, rasa dan karsa sebagai
instrumen kemanusiaannya. Andaikata satu saja tak terlaksana maka tidaklah
genap diri seseorang itu sebagai manusia. Apa bedanya manusia dengan binatang
yang tidak lengkap perangkat cipta, rasa dan karsanya itu. Tentu tidaklah sama
antara manusia dan binatang. Binatang menyelenggarakan kehidupannya memiliki
tujuan hidup sendiri, begituhalnya manusia. Segala kehidupan saling melengkapi
dalam Memayu Hayuning Bawana. Segala sesuatunya itu di pertunjukan dalam
kehidupan dunia dengan iman konkretnya masing – masing yang tak lepas dengan bakti,
dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria.
Kehidupan budaya Jawa merasukan iman yang konkret dalam kehidupan sehari –
hari. Adanya sopan santun, gotong royong, saling mengormati, musyawarah,
mufakat sebagai komitmen harga dirinya dalam prinsin temen. Kebudayaan tinggi
yang menjelma dalam iman konkret sehari – hari itu menegaskan mereka untuk
tidak “milik,” bahwa “Milik akan akibatkan Gendong Lali.” Begitulah dalam kehidupan tarekat Jawa bahwa nilai
filsafatnya perlu di urai di karenakan tentang pengendalian diri atas hawa dan
nafsu liarnya yang di urai dalam kaweruh budinya masing - masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar