Selasa, 27 Maret 2012

SIAPA MILIK AKAN GENDONG LALI

 Materi kaweruh budi kejawan Paguyuban Tri Tunggal tiap “Minggu Pon 1”
SOPO MILIK BAKAL GENDONG LALI
Siapapun yang berhasrat nafsu memiliki yang berlebihan, pasti akan lupa diri

Bagi orang Jawa, siapapun orangnya jika memiliki hasrat memiliki yang berlebihan dipastikan akan lupa diri. Persoalan rasa memiliki atas apa yang diinginkan dalam sebuah kepentingan yang di perjuangkan terkadang membuat lupa diri. Ketidaksadaran diri inilah yang menjadi persoalan ketika seseorang tidak menyelenggarakan kesadarannya. Sebagai manusia yang di anugerahi cipta, rasa dan karsa tentunya bertanggung jawab menyelenggarakan kesadaran diri. Itulah tantangan seseorang ketika sedang mempertahankan eksistensi kehidupannya. Lupa diri disebabkan oleh liarnya gelombang hawa dan nafsu bergejolak hingga pribadi seseorang itu menjadi tidak sadarkan diri atas segala perilaku dan ucapannya.
Inti dasar dalam kehidupan iman sehari – hari dalam kebudayaan tinggi Jawa adalah  ajaran moralitas dalam filsafat kehidupannya untuk mengendalikan hawa dan nafsunya untuk tidak milik yang akan mengakibatkan gendong lali. Filsafat itu kerap kita sebut dengan “pendalaman kebatinan beserta penghatannya dan pengamalannya sehari - hari.” Dalam pengalaman hidup sehari di sebut “kejawen.” Istilah kejawen berarti tegas bahwa masyarakat Jawa harus menyelenggarakan kesadaran diri. Jika di praktekan dalam kesehariannya dalam pola hidup disebut sebagai iman konkret sehari – hari orang Jawa di dalam kebudayaannya. Begitulah fungsi filsafat kebatinan Jawa itu menjadi jembatan budi luhur dan penghubung generasi ke generasinya yang sulit di hapus oleh segala dampak perubahan sosial (dunia) sekalipun.
Sekalipun perubahan sosial dunia maupun nasional atau lokalpun telah terjadi tidak akan pernah menghapuskannya karena kekuatan pilar filsafat budi luhurnya itu. Tentang bagaimana mengendalikan liarnya gelombang hawa dan nafsu yang sulit di baca dan di telaah dalam “MILIK GENDONG LALI.” Masyarakat Jawa menyadari bahwa musuh utama kehidupan adalah rasa memiliki yang sangat melekat erat dengan kepentingan duniawi. Jika kemelekatan telah terjadi maka resiko – resiko konkret sehari – hari akan menimpanya dalam pertanggung jawaban hidupnya. Selain itu, hakikat dalam tujuannya akan di korbankan tanpa sadar jika ketidaksadaran diri karena rasa miliknya tersebut terjadi dalam dirinya. Apa yang terjadi jika seseorang Jawa telah melekat erat dengan kepentingan duniawi, tentunya akan lupa diri. Dari kekuasaan atau kedudukan sampai rasa milik atas penguasaan harta kekayaan. Perolehan sebuah kemuliaan dan keagungan bahkan sampai rasa milik atas kasih sayang yang berlebihanpun akan mengancam kehidupannya. Oleh itu, milik gendong lali di tandaskan secara tegas bagi masyarakat Jawa hingga sampai dalam adab dan adatnya sehari – hari.
Ada proporsinya tersendiri dalam menyelenggarakan rasa milik agar tidak buta hatinya. Jika buta hati maka akan mengakibatkan tak terkendalinya hawa dan nafsu dan perilaku dan perbuatannya akan liar dan merusak dirinya dan sekitarnya. Dengan adanya filsafat menyelenggarakan ketulus iklasan, kerela pasrahan, menerima kenyataan tanpa memaksakan kehendak, temen atau bertepat janji dan berbudi luhur sebagai proporsional hidupnya sehari – hari secara konkret sebagi tugas pokok intinya.  Seseorang tidak akan kalang kabut menentukan keputusan hidupnya dan akan berpikir jernih dengan menyelenggarakan kesadaran dirinya. Hawa dan nafsu haruislah di kendalikan hingga terbina sampai tidak liar sebagai pedoman filsafat inti keimanannya dalam menyelenggarakan kesadaran diri.
Dasar kekayaan dalam rasa milik itu di dasari oleh kenyataan bahwa kekayaan akal budi seperti bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria yang mendalam dalam akal pikirannya serta perbuatannya. Dari pengalaman tradisi sehari – hari dalam adat istiadatnya di jelakan tidak diperkenankan untuk berkianat, selalu jujur dan adil serta bijaksana dalam melaksanakan tugas hidupnya dalam kehidupan sosialnya. Profesi hidup masing – masing yang tertata dalam kehidupan sosial itu akan seimbang jika menyelenggarakan bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria. Sebagai contoh dalam profesi apapun, tujuan kemewahan dan kelimpahan itu untuk apa jika sekitarnya masih ada yang sengsara dan menderita. Apa tujuan berkedudukan dan berkuasa jika tidak mampu mewakili kepentingan dan memperjuangkan bagi masyarakat  yang menderita dan sengsara. Apa artinya tujuan mencinta dan menyayanggi sebuah nilai ajaran luhur atau seseorang atau kelompok identitas jika tidak mewujudkan kasih sayangnya. Apa artinya memiliki kemuliaan dan keagungan yang berlimpahkan budi jika tidak mampu menyelenggarakan kebijaksanaan secara adil dan bijak serta hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Apa artinya tujuan mencintai anak atau murid jika rasa memilikinya telah membelenggu perkembangannya hingga tidak berkembang tumbuh atau tak mampu hidup di lingkungan luar. Semua itu hanyalah kosong tanpa arti jika telah lupa diri dengan tujuannnya sendiri. Itulah yang di maksud dengan Sopo Milik Gendong Lali yang membawa bencana kemelekatan duniawi.
Di jaman sekarang ini, entitas iman sehari – hari haruslah di pertanyakan oleh masing – masing seseorang. Bagaimana tentang anugerah kelengkapannya sebagai manusia yang di anugerahi dengan cipta, rasa dan karsa sebagai instrumen kemanusiaannya. Andaikata satu saja tak terlaksana maka tidaklah genap diri seseorang itu sebagai manusia. Apa bedanya manusia dengan binatang yang tidak lengkap perangkat cipta, rasa dan karsanya itu. Tentu tidaklah sama antara manusia dan binatang. Binatang menyelenggarakan kehidupannya memiliki tujuan hidup sendiri, begituhalnya manusia. Segala kehidupan saling melengkapi dalam Memayu Hayuning Bawana. Segala sesuatunya itu di pertunjukan dalam kehidupan dunia dengan iman konkretnya masing – masing yang tak lepas dengan bakti, dharma, sakti, yekti (pengorbanan) dan jiwa satria.
Kehidupan budaya Jawa merasukan iman yang konkret dalam kehidupan sehari – hari. Adanya sopan santun, gotong royong, saling mengormati, musyawarah, mufakat sebagai komitmen harga dirinya dalam prinsin temen. Kebudayaan tinggi yang menjelma dalam iman konkret sehari – hari itu menegaskan mereka untuk tidak “milik,” bahwaMilik akan akibatkan Gendong Lali.” Begitulah dalam kehidupan tarekat Jawa bahwa nilai filsafatnya perlu di urai di karenakan tentang pengendalian diri atas hawa dan nafsu liarnya yang di urai dalam kaweruh budinya masing - masing.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar